
iniSURABAYA – Suasana di Pujasera Lambe Toerah, Minggu (10/6) petang hari itu terasa berbeda dari biasanya. Puluhan pengunjung seragam mengenakan busana yang didominasi warna gelap.
Mereka juga mengenakan ikat kepala. Meski riuh oleh obrolan sesama pengunjung yang sedang meluapkan kangen lantaran lama tidak bertemu, suasana tetap terasa sejuk karena alunan langgam Jawa yang tak biasa diperdengarkan di banyak pertemuan seperti ini.
“Inilah cara kami melestarikan budaya. Kita harus selalu mengingatnya melalui hal-hal kecil seperti ini,” tegas Mutachir, Komandan Satgas Forum Keluarga Paranormal Penyembuh Alternatif Indonesia.
Ditemui di tengah acara buka puasa bersama dan silaturahmi 35 anggota Spiritual Indonesia Jawa Timur, Mutachir menegaskan dirinya tak segan menegur anak muda yang tak hafal bacaan Pancasila atau lagu-lagu nasional macam Indonesia Raya dan Garuda Pancasila.
Mutachir yang juga dari Banser Pasukan Khusus Satkorwil Jawa Timur ini tak mengelak, bahwa timbulnya kesenjangan budaya antara generasi tua dan muda akibat orangtua yang khilaf lantaran terbuai kesibukan mencari material sehingga melupakan pembekalan sisi pentingnya pemahaman budaya tradisional pada anak-anaknya.
Kesadaran ini harus dimanfaatkan oleh orangtua untuk segera berbenah diri dan mengingatkan anak muda agar kembali memahami budaya negeri sendiri. “Kalau banyak anak jaman now tidak paham budaya tradisional dan lebih memuja budaya luar, itu bisa jadi karena kita-kita ini terlalu sibuk cari nafkah sehingga terpelanting. Kami ini yang lengah oleh teknologi juga,” katanya.
Mutachir menambahkan, gaya hidup yang lebih mengagungkan budaya luar ini harus segera diluruskan. Sebab, lanjut Mutachir, budaya ini pula yang diyakini bisa meredam gejolak radikalisme yang belakangan banyak meresahkan masyarakat Tanah Air.
“Pembenahan itu harus dari lingkungan sekitar dulu sebelum ke lingkungan yang lebih luas,” ungkapnya.
Roy Jati, Ketua Spiritual Indonesia Jatim yang ditemui di tempat yang sama mengakui bahwa budaya itu sebagai pengolah rasa sehingga bisa membuat seseorang punya jiwa luhur. “Kita lihat saja orangtua kita dulu. Mereka mengagungkan seni adiluhung ini, dan hasilnya pun dirasakan masyarakat dulu punya perilaku tepa seliro (saling menghargai) dan etika yang lebih santun,” tuturnya.
Karena itu pula, lanjut Roy, dalam setiap pertemuan SI Jatim sesama anggota saling mengingatkan agar terus menjaga budaya tradsional ini pada lingkungannya. “Realisasinya adalah kami buka sanggar-sanggar latihan tari di tiap daerah. Kami juga dukung aksi kesenian dalam bentuk apa pun agar kecintaan pada budaya Nusantara ini tetap terjaga,” tandas pria yang selalu memakai udeng di setiap kesempatan ini.
Menurut Roy, anggota SI Jatim saat ini lebih dari 8.600 orang. Selama ini silaturahmi mereka lebih banyak dilakukan di media sosial, dan secara sporadis menggelar aksi-aksi sosial di lingkungan masing-masing.