Potret Kehidupan Sosial Manusia versi Remi Decoster dan Dianto di Surabaya Art Centre

0
1694

Dianto, seniman Yogyakarta menghadirkan kolaborasi seni lukis dan instalasi di ruang pamer Surabaya Art Centre.

iniSURABAYA – Foto, bagi Remi Decoster (27), tak semata untuk mengabadikan momen agar bisa dikenang. Lewat foto pula Remi bisa menyampaikan pesan-pesan kedamaian dan kebersamaan tanpa memandang budaya, agama, dan ras.

Tak heran bila fotografer asal Perancis ini rajin menelusuri banyak kehidupan masyarakat. Tak hanya di negerinya sendiri, Remi Decoste sempat pula membidik komunitas di Israel, Turki, Tunisia, dan Indonesia.

“Saya juga sedang menyiapkan perjalanan ke Madura,” kata Remi saat ditemui di tengah kesibukan memajang foto-foto koleksinya di Surabaya Art Centre, Jumat (13/7/2018).

Selama lima tahun terakhir, Remi memuaskan dirinya bersama kamera kesayangannya membidik komunitas dengan berbagai keyakinan di negeri yang sedang dikunjunginya. “Saya suka memotret sisi-sisi kehidupan yang sarat human interest,” paparnya kepada iniSurabaya.com.

Karya foto Remi Dacosta itu menghiasi Prospect Room yang memang disediakan bagi seniman-seniman pemula dan muda usia dari berbagai penjuru dunia. Selain Prospect Room, Surabaya Art Centre ini juga didukung oleh sembilan galeri seni dengan kelas internasional.

Sembilan galeri itu adalah tiga galeri Surabaya, yaitu Shao Gallery, Hadi Gallery, dan Galeri Unesa (Universitas Negeri Surabaya). Juga ada tiga galeri Tiongkok, yaitu Soca Gallery Fujian, Yongqing Gallery Beijing, dan Indonesian China Cross Culture.

Selain itu, masing-masing satu galeri dari Osaka Jepang (Brillant Gallery Ehime), Bandung (Lawangwangi Creative Space), dan Yogyakarta (Equator Art Projects by Langgeng Art Foundation). Surabaya Art Centre yang berada di lantai 1 Lenmarc Mall Surabaya ini nantinya mengusung berbagai aktivitas seni dan berkesenian seperti yang pernah digelar di berbagai negara di belahan dunia lain.

Dari sembilan galeri itu, ada beberapa seni rupa yang punya nilai jual cukup tinggi. Seperti seni instalasi dari karton karya Yudi Sulistyo dari Yogyakarta yang dihargai Rp 150-200 juta karena proses pembuatan detilnya memakan waktu setahun.

Ada juga lukisan Book of Negarakertagama yang dibuat pelukis Eddy Susanto dari Lawangwangi Creative Artspace Bandung. Pemilik Lawangwangi Creative Artspace, Andonowati menuturkan, lukisan berukuran 290×180 cm ini menggambarkan paduan budaya Barat dan Timur.

Budaya Barat lebih visual representation dengan gambar Nabi Musa mendapatkan 10 Perintah Allah. Sedangkan budaya Timur lebih text representation, berupa huruf Jawa kuno Negarakertagama.

“Bentuk lukisan Musa dan dua loh batu dibuat dari tulisan Hanacaraka. Maknanya adalah budaya Barat dan Timur sama-sama bernilai tinggi dan saling melengkapi. Ini yang membuat lukisan ini bernilai Rp 150-200 juta,” urainya.

Sementara Dianto, seniman asal Yogyakarta menghadirkan kreasi yang dia beri tajuk ‘Untuk dan Atas Nama Orang Ramai’. Karyanya ini memadukan karya instalasi dan lukisan raksasa berukuran 3,5×1,8 meter.

“Setiap orang pasti akan melalui jembatan untuk menuju kehidupan dengan banyak tantangan ‘di kehidupan yang ramai’,” ujar Andonowati.

‘Kehidupan yang ramai’ seperti yang digambarkan Dianto, tak selalu nyaman buat manusia. Diantaranya dia ilustrasikan perempuan sebagai korban kekerasan. dit

Comments are closed.