Minta Keadilan Presiden, Ludruk Irama Budaya Sinar Nusantara Ngluruk ke Ibukota

iniSURABAYA – Seniman ludruk Surabaya yang tergabung dalam kelompok Irama Budaya Sinar Nusantara bakal ramai-ramai menggelar pementasan di Jakarta selama tiga hari berturut-turut di dua tempat berbeda.

Hari pertama (Jumat, 17/8/2018), akan disajikan lakon ‘Bui/Guruku Tersayang’ di Taman Mini Indonesia Indah, dilanjutkan kisah ‘Cak Durasim’ selama dua malam berturut-turut (Sabtu-Minggu, 18-19/8/2018) di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM).

“Selain untuk memperingati HUT ke-73 Kemerdekaan RI, pementasan Ludruk Kebangsaan ke Ibukota NKRI ini kami niatkan juga untuk memeriahkan Asian Games,” kata Meimura, sutradara dua lakon tersebut.

Meimura yang pernah mendapat penghargaan sebagai pegiat ludruk dari PWI Jawa Timur ini menegaskan pula bahwa kehadiran kelompok kesenian Irama Budaya Sinar Nusantara ini sekaligus ingin meminta keadilan kepada Presiden ke-7 RI.

“Bagaimana perlakuan para legislatif, yudikatif, birokrat kepada seniman ludruk dan kesenian ludruk dibanding dengan kesenian lain, misal seni tari, wayang kulit dan lain-lainnya,” sergahnya.

Menurut Meimura, peringatan HUT Kemerdekaan RI adalah momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk mengingat kembali perjuangan dan pencapaian bangsa Indonesia. “Dan sejarah kesenian ludruk tidak bisa dilepaskan dari perjuangan dalam merebut kemerdekaan,” tandasnya.

Ditambahkan pula, “Kesenian ludruk di masa itu adalah salah satu media efektif untuk menyampaikan berbagai hal kepada rakyat, khususnya warga di Jawa Timur.”

Meimura lalu menyoroti penyelenggaraan Asian Games 2018 yang berlangsung di Palembang dan Jakarta. “Asian Games adalah pesta prestasi antar bangsa Asia. Kenapa kesenian tradisi kita tidak dihadirkan dalam pesta itu?” cetusnya.

Meimura mengakui di era Presiden Joko Widodo diberlakukan UU Pemajuan Kebudayaan RI. “Hadirnya UU ini tentu menjadi sebuah harapan tercapainya keadilan, penanganan di bidang seni budaya. Dan itu menurut saya, sangat tergantung kebijakan seorang presiden yang memimpin pemerintahan NKRI,” ujar pria asal Surabaya ini.

Lakon ‘Bui –Guruku Tersayang’ adalah adaptasi dari karya seniman Akhudiat. “Kisah ini kontekstual dengan situasi saat ini. Kita bisa lihat narkoba bagai Firaun, bisa mengatur apapun dalam sebuah negara,bangsa. Meski dari balik penjara,” papar Meimura.

Sedang kisah ‘Cak Durasim’ diakui Meimura sebagai upaya mendengungkan kembali adab, asah, asih, asuh, dan semangat gotong royong yang pernah akrab di masyarakat Indonesia, dan kini sudah porak poranda. “Karena itu kisah Cak Durrasim yang berjuang demi bangsa untuk mencapai Indonesia merdeka juga kami sajikan,” urainya.

Pementasan kesenian ludruk ini didukung beragam usia. “Ada Mak Unyil yang telah berusia 80 tahun, hingga Putik dan Pucuk anggota ludruk anak yang masih berusia 4 dan 6 tahun,” kata Meimura. dit

Pos terkait