iniSURABAYA – Jalan Tunjungan berasal dari nama bunga tunjung? Riwayat muasal jalan protokol di pusat Kota Surabaya ini dipapar oleh dr Ananto Sidohutomo MARS saat jumpa pers monolog ‘Pertempuran Bendera 19-9-1945’ di Hotel Majapahit, Selasa (18/9/2018).
Menurut Ananto, bunga tunjung ini sudah ada sejak pemerintahan Syailendra di era kejayaan Kerajaan Mataram kuno. “Bahkan ketika berlanjut ke era Kediri dan Majapahit, bunga tunjung ini masih dikenal luas masyarakat jaman itu,” tandasnya.
Penggagas hadirnya Museum Kanker Indonesia ini lalu menunjuk pataka Syailendra yang diantaranya menyebutkan kalimat ‘tunjung abang, tunjung putih’. “Dan di jaman Majapahit sudah digunakan bendera merah putih yang diambil dari warna utama bunga tunjung,” paparnya.
Karena itu, lanjut Ananto, bunga tunjung layak menjadi ikon nasional. “Sebab pertempuran pertama dan dimenangkan oleh rakyat negeri ini, khususnya arek-arek Suroboyo itu terjadi di Jalan Tunjungan,” tegas Ananto yang kelahiran 28 November 1963 ini.
Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya tersebut bakal menggelar acara rutin tahunan berupa monolog ‘Pertempuran Bendera 19-9-1945’ di puncak Hotel Majapahit, Rabu (19/9/2018). Dalam monolognya, Ananto kembali memapar tragedi yang terjadi 73 tahun silam.
Menurut Ananto, bangsa Indonesia tak pernah memenangkan pertempuran di masa revolusi.
Tanggal 10 November, kata Ananto, dijadikan momen Hari Pahlawan untuk memeringati banyaknya korban berjatuhan saat class fisik melawan tentara Sekutu.
“Bahkan, oleh pihak Belanda tanggal 10 November itu ditandai sebagai hari jatuhnya Kota Surabaya pada Sekutu,” tuturnya.
Ditekankan Ananto, bangsa Indonesia, khususnya Arek-Arek Suroboyo perlu motivasi agar tetap bangga menjadi bagian negeri ini. “Satu-satunya kebanggaan itu adalah peristiwa perobekan bendera Merah Putih di sini (Hotel Majapahit),” serunya.
Peristiwa yang membuat Tentara Sekutu marah itu menimbulkan korban berjatuhan di kedua belah pihak. Namun, diyakini Ananto arek Suroboyo bisa mempertahankan bendera Merah Putih tetap berkibar di tempat yang waktu itu bernama Oranye Hoteru.
Kondisi inilah yang kemudian memicu timbulnya pertempuran-pertempuran pada 27, 28, 28 Oktober, dan puncaknya pada 10 November 1945.
Ananto menegaskan, pertempuran bendera ini patut diperingati karena mengandung nilai patriotisme dan kepahlawanan tinggi. “Seharusnya peringatan di tanggal 19 September ini lebih gegap gempita mengingat aksi itu dilakukan untuk mempertahankan eksistensi bangsa kita,” imbuhnya. dit