iniSURABAYA – Dokter Ananto Sidohutomo MARS kembali bakal menggelar pentas monolog ‘Pertempuran Bendera 19-9-‘45’ di puncak Hotel Majapahit. Tetapi ada yang berbeda dengan aksi yang sudah dilakukan sejak tahun 2013 itu.
‘Ini monolog ‘wadak’ atau monolog ‘pamitan’,” begitu tegasnya saat ditemui iniSurabaya.com di Hotel Majapahit, Selasa (18/9/2018).
Penggagas komunitas Tunjungan Ikon Surabaya (TIS) ini menandaskan, bahwa lima permintaan yang diajukan sekitar enam tahun lalu sudah terpenuhi. “Saya dan kawan-kawan menuntut lima hal, yaitu ‘luruskan sejarah 19 September 1945 sebagai pertempuran bendera yang dimenangkan oleh rakyat arek-arek Suroboyo yang terjadi di Jl Tunjungan,” paparnya.
Menurut Ananto, pertempuran berdarah dan memicu kemarahan tentara asing yang berusaha menduduki kembali Indonesia melalui Surabaya ini terjadi di sekitar dan di dalam area Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit). “Peristiwa ini jadi cikal bakal perlawanan seluruh rakyat negeri ini,” urainya.
Yang kedua, lanjut Ananto,”Tutup Dolly!”
https://inisurabaya.com/bangkitkan-semangat-patriotisme-lewat-monolog-pertempuran-bendera/
Sebab, Ananto dan kawan-kawannya di komunitas TIS sangat menginginkan Surabaya punya ikon yang baik. “Dan Tunjungan dianggap sebagai ikon yang mewadahi keinginan tersebut,” tuturnya.
Tuntutan TIS lainnya adalah,”Kami ingin kawasan cagar budaya Jalan Tunjungan dikembalikan ke bentuk asalnya.”
Jadi, kata Ananto, bila dulu di sepanjang Jl Tunjungan banyak tertutup seng, lepas seng itu. Sehingga arek-arek Suroboyo bisa melihat bentuk asli bangunan cagar budaya ini.
“Meski tidak sama persis, tapi ini mencerminkan ketika terjadi pertempuran bendera menunjukkan bentuk Tunjungan itu seperti ini,” kata Ananto yang juga penggagas dan pendiri Museum Kanker Indonesia.
Selain itu, TIS juga meminta agar kawasan Tunjungan sebagai cagar budaya dijadikan museum. “Jadi yang dijadian museum ini adalah ‘kawasan’, bukan hanya bangunannya,” ucapnya menegaskan.
Permintaan TIS yang terakhir adalah,”Budaya yang sesuai karakter khas arek Suroboyo bisa dietalasekan ditampilkan di Tunjungan.”
Ananto mengaku, dalam perkembangan terakhir kelima permintaan itu sudah terealisasi semua. “Ini berkat peran arek-arek Suroboyo yang didukung oleh pemerintah. Bahkan di tanggal 19 September sudah ada upacara bendera oleh pemkot. Ini luar biasa. Dolly pun sudah tutup,” urainya.
Meski masih dalam bentuk museum di satu lokasi di Gedung Siola, namun diakui Ananto, sudah ada niatan dari Pemkot Surabaya untuk mewujudkan museum di kawasan Tunjungan. Seng yang sempat menghiasi sepanjang Jl Tunjungan pun sudah dilepas dan gedung-gedung yang semula tertutup seng itu sudah dicat sehingga terlihat cantik.
“Bahkan jalan pun dipercantik,” ungkap pria kelahiran 28 November 1963 ini.
Ananto juga mengapresiasi kegiatan seni budaya yang diselenggarakan Pemkot Surabaya di sepanjang Jl Tunjungan. Kegiatan yang rutin dilakukan 3-4 kali dalam sebulan itu bahkan tak jarang mengundang tamu mancanegara.
“Untuk semua itu, kami menyampaikan terima kasih. Karena yang diminta oleh Ananto dan kawan-kawan sudah dipenuhi oleh pemerintah dan warga kota Surabaya,” pungkasnya. dit