iniSURABAYA – Sakera selama ini dikenal sebagai tokoh pahlawan legendaris asal Madura. Sepak terjangnya melawan kolonial Belanda membuat Sakera diburu dan akhirnya tertangkap berkat kelicikan sahabatnya sendiri, Aziz.
Pria asal Bangil, Pasuruan yang dikenal sakti ini pun lalu dipenjara sebelum kemudian digantung. Jasad Sakera kemudian dimakamkan di Bekacak Selatan, Bangil, Pasuruan.
Sakera ternyata bukan nama asli. “Berdasar sumber di Museum Tropeen Amsterdam, Belanda, nama asli Sakera adalah Omar Bawazier, keturunan Arab Yaman,” kata Hamid Nabhan.
Kisah perjuangan si Omar Bawazier ini menjadi bagian dari tulisan Hamid yang dituangkan menjadi buku berjudul ‘Ziarah Sejarah –Mereka yang Dilupakan’. Buku yang baru dirilis bulan Juli 2018 itu sudah mengalami cetak dua kali.
Namun, di bukunya itu Hamid tidak menjelaskan bagaimana sosok Sakera kemudian ‘diklaim’ sebagai orang Madura. “Saya perlu melakukan penelusuran lagi mengenai klaim itu,” tuturnya.
Buku setebal 118 halaman ini memang tak semata membeber kisah Sakera. Di buku terbarunya ini budayawan yang juga keturunan Arab tersebut, memfokuskan pada peran peranakan Arab dalam membantu dan mengisi kemerdekaan Indonesia.
Ada puluhan kisah nyata sumbangsih warga keturunan Arab yang dia tulis di buku ke-27 tersebut. Di buku itu pula Hamid memapar bahwa Pangeran Diponegoro pun sebetulnya keturunan Arab bernama Syayid Abdul Hamid Diponegoro.
Pangeran Diponegoro yang juga seorang ulama dan memimpin perang melawan Belanda ini juga masih punya pertalian darah dengan Raden Saleh. Tokoh pelopor seni Indonesia itu, menurut Hamid, bernama lengkap Raden Saleh Sjarif Boestaman yang memiliki garis keturunan Arab dari pihak orang tuanya.
”Ayah Raden Saleh adalah Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin Jahja, dan kakek dari pihak ibu Sayyid Abdoellah Boestaman,” ungkap Hamid.
Raden Saleh pula yang melukis kisah penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan yang pernah menjadi koleksi Kerajaan Belanda itu kini dipajang di Istana Negara.
Sosok lain yang ada dalam bukun itu adalah Salim Nabhan, kakek Hamid. Pendiri Yayasan Al Irsyad itu dikenal sebagai sosok yang dermawan.
Salim yang dikenal sebagai pendiri toko kitab pertama di Ampel itu turut menjadi bagian dalam merebut kemerdekaan. “Kakek (Salim Nabhan) menyumbang uang untuk berjuang,” kata Hamid. Dana perjuangan diambilkan dari hasil berjualan buku.
Diakui Hamid, tidak mudah untuk mengumpulkan cerita tentang tokoh-tokoh keturunan Arab. Minim referensi dan sumber hidup. Hamid berkeliling Indonesia untuk menggali peran tokoh-tokoh tersebut hingga akhirnya dia berhasil mewawancarai sebagian anak-cucu pejuang secara langsung. dit