iniSURABAYA – ‘Esuk nyuling sore nyuling, sulinge arek Suroboyo
Esuk eling sore eling, sing dieling kok ra rumongso’
Kidungan ini dilontarkan dengan centil oleh Rusmini sambil menari gemulai diiring alunan gamelan. Kalimat monolog ini seakan mengajak penonton menyadari betapa penting dan berharganya kesenian ludruk, termasuk tandak wesi di dalamnya.
Sebelum mengakhiri aksinya di atas panggung Balai Budaya Balai Pemuda, Sabtu (29/12/2018), Rusmini sempat melontar kalimat pamungkasnya,’Iki wekmu, tilas tracake leluhurmu, nek koen gak gelem kabur kanginan…’
(Ini punyamu, jejak leluhurmu, kalau kamu tidak mau tidak jelas siapa yang akan memilikinya)
Tandak wesi (wedok’an ludruk) merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah pementasan kesenian tradisional khas Suroboyo tersebut. Ironisnya, tandak wesi ini sering diidentikkan dengan trans gender.
“Tandak wesi itu cross gender. Dan itu berbeda jauh dengan trans gender. Tak ada hubungannya dengan LGBT,” tegas Meimura yang memerankan tokoh Rusmini di pementasan ludruk monolog berjudul ‘Ritus Travesty’ di Balai Budaya, Balai Pemuda Surabaya.
Seniman ludruk dari Irama Budaya Sinar Nusantara yang tobongnya di Gedung THR Surabaya ini lalu menandaskan pula bahwa tandak wesi merupakan sisi penting keaktoran dalam kesenian ludruk. “Jadi tandak wesi itu hanya cross gender, hanya sebuah konsep pemeranan,” imbuhnya.
Karena itu, Meimura sangat prihatin ketika KPI melarang hadirnya cross gender ini di layar kaca. “Mereka kurang paham, atau bahkan tidak memahami cross gender yang harus dipisahkan dari trans gender,” kata tokoh senior ludruk Surabaya ini.
Meimura lalu memaparkan pertemuannya dengan Taji, seorang cross gender pemeran Rusmini yang kini tinggal di sebuah desa di Jombang. “Meski sudah sepuh (tua), tapi begitu ngidung secara otomatis dia mengganti perannya menjadi perempuan,” bebernya.
Padahal, lanjut Meimura, ketika dia melakukan wawancara, Taji tampak biasa layaknya seorang pria tua dengan giginya yang tinggal dua. “Inilah bedanya dengan banci yang ketika berdialog tetap berusaha menampakkan sisi keperempuanan sehingga terkesan over acting, bahkan lebih terkesan wanita dibanding emaknya sendiri,” ungkap Meimura.
Meimura kemudian menunjuk tokoh Mukidi yang dia perankan di ludruk monolog tersebut. “Di dalam cerita ‘Ritus Travesty’, saya berperan sebagai Mukidi seorang laki-laki tulen, beristri satu dan beranak tiga. Sehari-hari menjadi tandak wesi atau pemeran perempuan dalam sebuah pertunjukan ludruk,” kata Maimura.
Ludruk ‘Ritus Travesty’ garapan sutradara Meimura didampingi Arie Setiawan dan Isabella sebagai asisten sutradara. Untuk musik dipercayakan pada Cak Supardi, perlengkapan Efendi, sedang Semar Suwito, Trybroto Wibisono, dan Nono Bogang (konsultan artistik).
“Ini juga bagian dari pertunjukan ke-58 tutup tahun 2018, sekaligus pertanggungjawaban kepada Pemerintah Kota Surabaya yang selama ini sudah membantu,” tutur Meimura. dit