
iniSURABAYA.com | JAKARTA – Munculnya pro-kontra terkait RUU Permusikan, menurut Anang Hermansyah perlu segera dicarikan solusi. Karena itu musisi asal Jember ini mengajak agar polemik tersebut diselesaikan melalui musyawarah besar ekosistem musik di Indonesia.
Ditekankan Anang, tantangan di industri musik di Indonesia semakin kompleks. Pikiran dan pandangan dari ekosistem musik cukup penting untuk merumuskan peta jalan atas tantangan yang muncul.
Melalui rilis yang dikirim ke redaksi iniSurabaya.com, Anang juga menyoroti urgensi keberadaan data besar (big data) untuk memuat seluruh direktori musik di Indonesia.
Keberadaan UU Serah Simpan Karya Rekam Karya Cetak (SSKRKC) yang mengamanatkan seluruh karya rekam diserahkan ke perpustakaan nasional, menurut Anang masih menimbulkan pertanyaan.
“Apakah seluruh lagu di Indonesia didata oleh perpustakaan nasional? Apakah hal tersebut telah menjawab kebutuhan di sektor musik,” urai Anang.
Vokalis Kidnap ini juga menyinggung soal pendidikan musik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta. Menurut dia, kurikulum pendidikan musik apakah telah selaras dengan kurikulum vokasi di Indonesia.
“Pendidikan musik tak populer di masyarakat. Pertanyaannya apakah sekolah musik sudah selaras dengan pendidikan vokasi di Indonesia,” ujarnya.
Pada tahun 2016, Anang mengungkap bahwa Bekraf menyebut terdapat 33.482 badan usaha musik di Indonesia yang membeber standar pendapatan minimum pelaku musik sebesar Rp 3 juta lebih.
“Pertanyaannya apakah angka tersebut terkait dengan eksistensi profesi musisi? Meski kalau dilihat data Bekraf tahun 2016, kontribusi sektor musik ke Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 0,48 persen,” paparnya.
Namun, kata Anang, di subsektor lainnya yakni kuliner dan televisi yang merupakan penyumbang terbesar PDB banyak memanfaatkan sektor musik namun tidak terefleksikan dari kontribusi PDB dari sektor musik.
“Ada disparitas tajam antara subsektor televisi dan radio (8,27 persen) dan kuliner (41,40 persen) dengan subsektor musik. Padahal televisi-radio dan kuliner memanfaatkan instrumen musik,” urainya.
Di bagian lainnya Anang juga menyinggung soal tak lama lagu pelaksanaan ibadah Ramadan pada awal Mei mendatang. Menurut dia, momentum Ramadan biasanya mengurangi jam pertunjukan musk karena dalam rangka menghormati ibadah puasa.
“Pertanyaannya bagaimana pendapatan para pelaku musik yang di beberapa daerah kafe tidak boleh beroperasi,” tandasnya.
Sebagian persoalan tersebut, kata Anang harus dijawab secara bersama-sama oleh ekosistem musik dengan musyawarah dan membuka semua persoalan di atas meja besar.
Anang menambahkan, persoalan tersebut pada akhirnya tak bisa dilepaskan dari peran negara untuk turut serta menyelesaikan bersama-sama ekosistem musik di Tanah Air.
“Pada akhirnya berbagai persoalan tersebut erat kaitannya dengan politik hukum pemerintah dalam memposisikan musik dalam bentuk kebijakan hukum,” tegasnya. wid