Siapa Penjahit Bendera Pusaka Setelah Fatmawati? Hamid Nabhan Ungkap Sosok Keturunan Arab itu di ‘Ziarah Sejarah’ Seri ke-Dua

Hamid Nabhan terus berkarya lewat lukisan dan tulisan-tulisannya.

iniSURABAYA.com – Setelah memapar fakta sejarah bahwa Sakera tokoh pahlawan asal Madura itu ternyata keturunan Arab bernama asli Omar Bawazier, Hamid Nabhan melanjutkan penelusuran ziarah sejarah di buku kedua.

Sosok yang muncul kali ini diantaranya adalah penjahit bendera merah putih setelah Fatmawati, yaitu H Muthahar. Pria bernama lengkap Sayyidil Habib Muhammad Husein Muthahar dan berpangkat mayor ini adalah salah satu ajudan Presiden Soekarno.

Bacaan Lainnya

Ceritanya bermula pada awal Januari 1946 ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia melakukan aksi teror yang membuat Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia meningalkan Jakarta menuju Yogyakarta menggunakan kereta api.

Bendera merah putih pun dibawa ke Yogyakarta dan dimasukkan dalam koper pribadi Soekarno. Selanjutnya, ibukota dipindahkan ke Yogyakarta.

Belanda kemudian melancarkan agresinya yang kedua pada 19 Desember 1948 di Yogyakarta. Di saat-saat genting ketika Istana Presiden Gedung Agung, Yogyakarta dikepung Belanda, Presiden Sukarno memanggil H Muthahar untuk menyelamatkan bendera pusaka.

“Dalam keadaan apa pun, aku perintahkan kepadamu untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu,” begitu pesan Bung Karno.

Agar bendera itu tidak mudah dikenali, H Muthahar membagi bendera pusaka menjadi dua bagian dengan mencabut benang jahitan yang menyatukan kedua bagian merah dan putih bendera itu. 

Kain merah dan putih itu lalu diselipkan di dasar dua tas terpisah miliknya. Seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya dijejalkan di atas kain merah dan putih itu. Muthahar berharap Belanda hanya mengenali kedua bagian bendera pusaka itu sebagai kain biasa, sehingga tidak melakukan penyitaan. 

Tak lama kemudian Sukarno ditangkap Belanda dan diasingkan ke Prapat, kota kecil di pinggir Danau Toba, sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka. Sedangkan Mohammad Hatta langsung dibawa ke Bangka.

H Muthahar dan beberapa staf kepresidenan akhirnya tertangkap juga dan diangkut dengan pesawat Dakota ke Semarang dan ditahan di sana. Namun, saat menjadi tahanan kota, H Muthahar berhasil melarikan diri dan naik kapal laut menuju Jakarta.

Di Jakarta ia menginap di rumah Perdana Menteri Sutan Syahrir, yang sebelumnya tidak ikut mengungsi ke Yogyakarta. Beberapa hari kemudian, dia indekost di Jalan Pegangsaan Timur 43, rumah R Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kepala Kepolisian RI yang pertama). 

Sekitar pertengahan Juni 1948, H Muthahar menerima pemberitahuan dari Sudjono yang tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro) Jakarta. Sudjono menyampaikan surat dari Presiden Sukarno yang memerintahkan dirinya untuk menyerahkan kembali bendera pusaka yang dibawanya dari Yogya kepada Sudjono, agar dapat dibawa ke Bangka. 

Sudjono yang harus menyerahkan langsung kepada Sukarno karena ternyata dalam pengasingan itu Bung Karno hanya boleh dikunjungi anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI (United Na­tions Committee for Indonesia). Sudjono adalah salah satu anggota delegasi itu, sedangkan H Muthahar bukan.

Begitu tahu Sudjono akan berangkat ke Bangka, pria yang juga akrab disapa Habib Husein ini pun menjahit kembali kedua carik kain merah dan putih tadi. Bendera pusaka itu selanjutnya dibungkus kertas koran agar tidak mencurigakan, dan diberikan kepada Soedjono untuk diserahkan ke Presiden Soekarno.

Pada tahun 1968, Habib Muhammad Husein membentuk organisasi mahasiswa Pasukan Pengibar Bendera Pusaka, atau Paskibraka (Bendera Pusaka Flag Hoisting Troop). Paskibraka inilah yang nantinya selalu bertugas sebagai pasukan pengibar bendera pusaka pada setiap upacara HUT Kemerdekaan Republik Indonesia hingga sekarang.

Selain membentuk Paskibraka, pencipta lagu ‘Hari Merdeka’ dan ‘Syukur’ ini juga menyusun tata cara pengibaran bendera pusaka. Atas jasanya ini, Habib Husein yang juga seorang komponis ini mendapat julukan Bapak Paskibraka Indonesia.

Kisah Habib Husein ini menjadi bagian dari tulisan Hamid yang dituangkan menjadi buku berjudul ‘Ziarah Sejarah –Mereka yang Dilupakan’ seri ke-2. Seperti seri sebelumnya, budayawan yang juga keturunan Arab tersebut fokus pada peran peranakan Arab dalam membantu dan mengisi kemerdekaan Indonesia.  dit

Pos terkait