Ingin Musik Rock Kembali Bangkit? Log Zhelebour: Harus Bersatu Mendukung, Jangan Malah Saling Menjatuhkan

Log Zhelebour

CATATAN REDAKSI :
Terlahir dengan nama Ong Oen Log. Tetapi pria yang berusia 63 tahun pada 16 Maret mendatang ini lebih dikenal dengan julukan Log Zhelebour. Dalam rangkaian Hari Musik Nasional, suami Novianda Antasari ini membeber sejarah panjang perjalanannya di jagad hiburan negeri ini, khususnya musik rock.  

NAMA besar Log Zhelebour memang tak bisa dipisahkan dengan hadirnya musisi-musisi rock Tanah Air macam SAS, Boomerang, Jamrud, dan belakangan muncul pula musisi rock dari Sidoarjo, Kobe.

Bacaan Lainnya

Darah musik, terutama musik rock, sebetulnya sudah mengalir sejak Log masih di bangku SMP Pirngadi Surabaya. Setelah menyelesaikan pendidikannya di SMA St Louis Surabaya –di tahun 1977—Log kian serius menggeluti musik rock.   

Di bawah bendera Log Zhelebour Production, ayah Dean Alonso ini mulai menggelar konser konser grup band kecil hingga menampilkan grup rock papan atas. Sebut misalnya, SAS dari Surabaya dan Super Kid (Bandung) lewat pentas berlabel ‘Rock Power’.

Kejeliannya melihat peluang pasar membuat setiap agenda pentas musik rock yang dia sodorkan selalu mendapat sambutan antusias publik. Salah satu strateginya adalah menggandengkan band lokal dengan band papan atas mancanegara.

Jika tidak sebagai band pendamping, minimal menjadi band pembuka. Log pula yang mengusung band internasional itu ke Indonesia. “Dulu, saat mendatangkan White Lion, band pendampingnya Jamrud,” kata Log.

Tetapi setelah Kobe, tak ada lagi grup musik rock yang lahir dari tangan dinginnya. “Mereka yang lahir pada era digital memang butuh treatment berbeda,” tegas kakak ipar Nia ‘AFI’ ini.

Log meyakini, beda zaman beda pula perlakuannya. Faktanya, band-band baru tidak perlu mencetak album untuk menciptakan pasar.

Cukup lempar single dan tunggu reaksi masyarakat. Jika lagu mereka banyak diputar, ada kemungkinan single tersebut sukses.

Setelah itu, apakah disusul dengan rilis album? Tidak juga! Tetap lanjutkan dengan single lagi. “Proses di era digital memang lebih lama,” ungkapnya.

Persaingan band rock pada era digital, diakui Log, lebih ketat. Jika dulu mereka berusaha merebut perhatian pasar yang tersegmen, kini pasar yang diperebutkan sifatnya lebih global.

Musik rock harus bersaing dengan banyak genre musik lain yang bisa dengan mudah menjadi viral dan favorit hanya dengan mengubahnya menjadi versi EDM atau versi akustik.

Praktik cover version yang biasanya menjadi lebih diminati ketimbang musik aslinya membuat persaingan kian sulit. ’’Yang digarapnya serius, ditanggapinya malah biasa saja,” tuturnya.

Pria yang turut mengiringi perjalanan penyanyi bernuansa rock macam Ita Purnamasari, Mel Shandy, Lady Avisha, dan Nicky Astria ini menekankan, pasar digital memang unik.

Para pelakunya perlu terus belajar. Jika ingin musik rock dalam negeri bangkit lagi, komunitas-komunitas pendukung yang kini tersebar di banyak kota dan skalanya kecil harus saling mendukung.

“Jangan malah saling menjatuhkan. Era saya dulu penggemar rock itu bersatu. Tidak pakai komunitas-komunitas seperti sekarang. Kalau mau berjaya, harus bersatu mendukung yang memang layak,” tandasnya. *

Pos terkait