Tak Terlintas Bakal Jadi Penulis, 26 Perempuan Ini Tuangkan Uneg-Unegnya Tentang Figur Sang Ayah di ‘Lelaki Pertamaku’

iniSURABAYA.com – ‘Ayah itu motivatorku’, ‘Ayah itu pelindung’, ‘Ayah itu chef terbaik’, ‘Ayah itu a knight, a hero’, ‘Ayah itu desainer, yang membentuk aku jadi seperti ini’.

Opini seputar sosok ayah pun berkembang luas ketika para penulis yang menuangkan karyanya pada buku ‘Lelaki Pertamaku’ ini diminta pendapatnya mengenai sosok sang ayah.

Bacaan Lainnya

“Ayah itu seperti kompas, mengenalkan aku tentang traveling, dunia fotografi,” ujar Fabiola Ponto yang menyumbang karya berjudul ‘Satu Kali Saja’ di buku seri ‘Hidup Ini Indah Beib’ tersebut.

Buku yang dilaunching di Grand City Mall Surabaya, Sabtu (10/8/2019) ini merupakan seri keempat ‘Hidup Ini Indah Beib’. Dan khusus di rilisan kali ini, 26 penulis sepakat menceritakan kisah mereka tentang figur ayah.

“Tema tentang ibu tentu sudah sangat banyak ditulis. Kali ini kami ingin berbeda dengan mengangkat ‘ayah’ sebagai tema. Dan ternyata kisahnya sangat bermacam-macam. Seru jadinya!” ujar Wina Bojonegoro, sang penggagas buku seri ‘Hidup Ini Indah Beib’.

Yang juga bikin menarik, lanjut Wina, para perempuan yang menyumbangkan karyanya dalam buku tersebut berasal dari beraneka profesi. Ada yang dosen, karyawati, pengacara, traveler, pelukis, mantan wartawan, ibu rumah tangga, pengusaha, dan juga ada yang masih duduk di bangku SMA.

“Lebih unik lagi, mereka sejatinya bukan berprofesi sebagai penulis. Menulis dan membuat buku tak pernah terlintas di benak mereka,” kata Wina yang juga CEO Padmedia penerbit buku ‘Lelaki Pertamaku’.

Tak heran bila dalam proses editing, Wina dan Didi Cahya sempat kalang kabut. “Dari awal sudah diberi batasan maksimal tulisan enam halaman. Ternyata saat menyerahkan naskah ada yang sampai 10 bahkan 11 halaman,” ujarnya.

Untuk melakukan editing diakui Wina tentu sulit.
“Kami memiliki standar karya penulisan yang sejajar dengan para penulis profesional. Ada yang idenya bagus tapi tulisannya hancur. Ada pula yang pandai bercerita namun tulisannya tidak terarah. Kami harus meminta beberapa dari mereka menulis ulang karyanya apabila memang masuk dalam tahap seleksi,” paparnya.

Hasilnya? “Fokus refleksi di buku ini beragam. Bersifat universal yang dialami perempuan-perempuan yang telah ditinggalkan ayah untuk selama-lamanya. Itulah mengapa masing-masing tulisan dalam buku ini menjadi refleksi individual sebagai bahan untuk pengembangan diri,” begitu tulis budayawan Budi Darma yang tertuang di bagian awal buku tersebut. dit

Pos terkait