
iniSURABAYA.com – Perjalanan hidup Mukari bak sinetron yang saban hari banyak pemirsanya di layar kaca. Kisah cinta tragis, hidupnya pun kini bergantung pada uluran tangan tetangganya.
Petaka itu bermula di tahun 2013. Mukari yang sehari-harinya bekerja serabutan ini diminta oleh sang istri untuk mengadu nasib di luar kota.
Tanpa berpikiran negatif, Mukari pun mengikuti saran istrinya dan memutuskan pergi ke Kalimantan.
Namun, Mukari hanya bertahan sebulan. Ada rasa tidak nyaman yang membuatnya memutuskan kembali ke Surabaya.
Ternyata kenyataan yang dia hadapi sangat menyakitkan. Sebab, ketika pulang istrinya sudah menikah lagi dengan lelaki lain tanpa sepengetahuannya.
“Rupanya saya disuruh merantau itu supaya dia bisa menikah lagi. Jika tidak cinta untuk apa saya paksa,” tuturnya dengan tatapan menerawang jauh.
Mukari kemudian mengabdikan diri dan tinggal di depan gedung bekas ludruk di Jl Pulo Wonokromo. Puing gedung kesenian ini masih menjadi bukti sejarah kota lama Surabaya yang dulu hingar binger oleh seni tradisional tersebut.
Sejak digusur oleh Pemkot Surabaya, satu per satu pemain kesenian yang pernah bermain ludruk di sana pun tak bersisa lagi. Kini tinggalah seorang laki-laki berusia di atas kepala lima yang tinggal sebatang kara sebagai penunggu bekas gedung ludruk tersebut.
Bangunan itu kini diisi oleh proyek-proyek reklame. Mukari tinggal di bekas tempat jualan sangat kecil hanya bisa menampung kursi kayu panjang yang dia pakai tidur setiap malam.
Mukari tak bisa mengelak bahwa setiap manusia memiliki takdir berbeda. Tetapi, pria ini tak pernah menyangka masa tuanya harus diisi dengan hidup sebatang kara. Bahkan untuk makan saja kadang tidak bisa.
Uluran tangan tetangga yang memberinya pekerjaan serabutan walaupun sedikit namun membuatnya bersyukur, terutama di musim pandemi Covid-19 yang serba susah ini.
“Dulu saya sempat berangan-angan jika sudah tua akan saya isi dengan duduk di rumah dan fokus beribadah. Tetapi Allah punya jalan lain untuk saya,” imbuhnya.
Menurut Mukari, sebetulnya dia terlahir tujuh bersaudara. Saat masih muda dan berpenghasilan cukup, Mukari pula yang membiayai sekolah adik-adiknya.
“Saya tidak tahu sekarang mereka ada dimana. Saya tidak ingin merepotkan mereka. Saya ingin mencari ketenangan dan kedamaian,” ujarnya.
Meski hidupnya serba kesusahan, Mukari tetap bersyukur. “Makan sehari sekali saja sudah untung karena saya malah terbiasa tidak makan,” ucapnya.
Selain bisa punya pekerjaan tetap, ada keinginan yang selalu muncul dalam hati pria ini. “Keinginan saya tidak muluk-muluk, saya bisa memiliki e-KTP saja sudah beruntung,” tegasnya.
Sewaktu menikah Mukari mengantongi KTP Menganti. “Tetapi saya asli warga kota Surabaya dan saya hanya memiliki KTP lama Surabaya bukan e-KTP,” katanya.
Mukari bercerita ia kesusahan mengurus e-KTP. Padahal istrinya tanpa cerai saja bisa menikah dengan laki-laki lain dengan mudah. Mukari sempat pula berharap pada Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya.
“Saya berharap bantuan untuk bisa makan saja lah. Saya sudah tidak ingin mencari harta. Sudah bisa makan saja Alhamdulilah,” ujarnya. dit