
CATATAN REDAKSI :
Terlahir dengan nama Ong Oen Log. Tetapi pria yang berusia 63 tahun pada 16 Maret mendatang ini lebih dikenal dengan julukan Log Zhelebour. Dalam rangkaian Hari Musik Nasional, suami Novianda Antasari ini membeber sejarah panjang perjalanannya di jagad hiburan negeri ini, khususnya musik rock.
ZAMAN memang berubah seiring bergulirnya waktu. Model promosi yang dulu diterapkan Log mungkin sekarang kurang efektif menggaet pasar. Pandemi Covid-19 juga membuat promosi on the spot atau lewat rangkaian tur tertahan.
Sementara itu, promosi melalui dunia digital juga butuh penyesuaian yang tidak sebentar.
Pada masa jayanya konser dan festival, musik rock mendapatkan energi dari kerumunan massa. Log pernah mendatangkan White Lion dan Skid Row, kemudian menggandengannya dengan band cadas lokal, Jamrud dan Kobe dalam pentas tur di lima kota: White Lion-Jamrud, dan Skid Row-Kobe.
Tiket konser band yang musiknya keras dan lirik lagunya lebih banyak berisi umpatan dan makian itu laris manis. Log dan sumber dayanya bisa membuat hal-hal yang sepertinya mustahil menjadi nyata.
Di Yogyakarta dan Bandung, menurut Log, model konser dan festival musik rock masih berjalan. Bahkan, dua kota itu punya event tahunan yang masih konsisten diselenggarakan.
“Surabaya tidak punya lagi event seperti itu. Tidak ada kegiatan,” cetusnya.
Sosok yang tak bisa dilepaskan dari perjalanan grup rock macam Elpamas, Kaisar, dan Power Metal ini lalu menjabarkan penyebab Surabaya kini jauh dari ingar bingar panggung rock.
“Dulu bebas memakai stadion sebagai venue musik. Tapi, sejak zaman Bu Risma (Tri Risma Harini, mantan Wali Kota Surabaya) sudah tidak bisa lagi,” tegasnya.
Log menyatakan, Pemkot Surabaya tidak mengizinkan stadion menjadi lokasi konser atau festival musik. “Saya kali terakhir pakai Tambaksari untuk peringatan tiga dekade Log pada 2010,” urainya.
Untuk gelaran musik akbar, termasuk rock, kata Log, Pemkot Surabaya mengarahkan para promotor ke Grand City. Di sana tersedia venue yang memadai untuk konser.
Pemkot menyebut arahan itu sebagai bentuk pembinaan. Selain lokasinya di tengah kota dan gedung yang representatif, tempat tersebut juga didukung fasilitas parkir mencukupi.
Sayangnya, biaya sewa gedung tersebut sangat mahal. “Beban jika harus diadakan di sana. Gedungnya kecil, sewanya mahal. Yang seperti itu kan namanya bukan pembinaan,” keluh Log.
Namun, gelegak bermusik Log rupanya belum pupus. Pemilik bisnis hiburan berlabel Logiss Record, Log Sound, Log Stage, Log Show Promotor, dan Log Lighting ini optimistis potensi Surabaya sebagai panggung musik rock Indonesia masih ada.
Akan kah hadir lagi musisi dan penyanyi rock setelah Boomerang, Power Metal, Andromeda, dan Grassrock di Kota Pahlawan? Kita tunggu saja kiprahnya. ap/dbs