
ILUSTRASI: AI/ChatGPT
Pasca-Reformasi, SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dihapus. Semua orang bisa bikin media dengan modal Rp5 juta: bikin PT, sewa notaris, beli domain dan hosting, selesai. Urusan wartawan? Ya siapa pun bisa. Tinggal tunjuk teman, tetangga atau mantan pacar, asal bisa pegang HP dan upload berita. Bayaran? “Cari sendiri lah …”
Tak heran kini ada 60.000 media di Indonesia. Tetapi yang diverifikasi Dewan Pers tidak sampai 2.000. Artinya, 58.000 sisanya adalah hutan belantara pers. Banyak yang tak paham kode etik. Asal kejar klik, judul bombastis, isi seadanya. Tak jarang, berita jadi alat ‘cari setoran’.
Hasilnya? Dewan Pers kebanjiran aduan. Tahun 2024 saja ada 600 pengaduan. Tahun 2025, baru setengah semester, sudah 200-an kasus. Tak semua bisa diselesaikan. Media liar tumbuh lebih cepat daripada aparat yang hendak menertibkan.
Di tengah situasi kacau ini, obsesi wartawan menjadi penulis esai praktis terkubur. Penulis opini tidak lagi dianggap profesi prestisius, melainkan pengangguran intelektual. Bayaran? Jangan tanya. Kecuali Kompas dan Tempo, hampir semua media besar sudah tak lagi membayar honor tulisan. Kolumnis sekarang statusnya ‘kismin terhormat’.
Yang lebih ironis, iklan sebagai nyawa media, kini lari ke influencer, buzzer dan media sosial. Iklan lebih suka wajah cantik dengan filter dan suara merdu ala TikTok daripada esai reflektif penuh argumentasi.
















