

iniSURABAYA.com | PACITAN – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan masyarakat dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pacitan terkait kemungkinan terjadinya gempa disusul tsunami di kawasan tersebut.
Karena itu, BMKG minta agar warga dan pemkab setempat menyiapkan skenario terburuk jika musibah itu benar-benar terjadi.
Menurut Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG, skenario terburuk perlu disiapkan untuk menghindari dan mengurangi risiko bencana gempa dan tsunami yang berpotensi terjadi di pesisir selatan Jawa akibat pergerakan lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia.
Dwikora mengungkapkan, berdasarkan hasil penelitian, wilayah Pantai Pacitan memiliki potensi tsunami setinggi 28 meter dengan estimasi waktu tiba sekitar 29 menit.
“Adapun tinggi genangan di darat berkisar antara 15-16 meter dengan potensi jarak genangan mencapai 4-6 kilometer dari bibir pantai,” paparnya.
Dwikorita mengaku, sebelumnya telah melakukan verifikasi zona bahaya dan menyusuri jalur evakuasi bencana. Hal itu dilakukan bersama Tri Rismaharini, Menteri Sosial, dan Indrata Nur Bayuaji, Bupati Pacitan.
Dengan skenario terburuk, lanjut Dwikora, masyarakat yang berada di zona bahaya perlu berlatih rutin untuk melakukan langkah evakuasi mandiri. Adapun langkah itu harus dilakukan ketika ada peringatan dini tsunami maksimal lima menit setelah gempa terjadi.
Dwikora menekankan, masyarakat –khususnya di wilayah pesisir pantai— harus segera mengungsi ke dataran lebih tinggi jika merasakan guncangan gempa besar. “Untuk masyarakat yang berada di pantai, tidak perlu menunggu perintah, aba-aba, atau sirine, segera lari karena waktu yang dimiliki hanya sekitar 29 menit, sedangkan jarak tempat yang aman yang lebih tinggi cukup jauh,” urainya.
Dia menyatakan pula, skenario tersebut masih bersifat potensi yang bisa saja terjadi atau bahkan tidak terjadi. Namun, masyarakat dan pemda diminta bersiap dengan skenario terburuk itu.
Jika masyarakat dan pemda telah siap, kata Dwikora, jumlah korban jiwa maupun kerugian materi dapat diminimalisasi. “Dengan skenario terburuk ini, pemerintah daerah bersama masyarakat bisa lebih maksimal mempersiapkan upaya mitigasi yang lebih komprehensif,” tegasnya.
Dwikora meyakini, bila masyarakat terlatih, maka tidak ada istilah gugup dan gagap saat bencana terjadi. Begitu gempa terjadi, baik masyarakat maupun pemerintah sudah tahu apa-apa saja yang harus dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas tersebut.
Dwiko mengungkapkan alasan masyarakat dan pemda menyiapkan scenario terburuk. “Sebab hingga kini tidak ada teknologi di satu negara mana pun yang mampu memprediksi waktu terjadinya gempa dan tsunami secara tepat dan akurat,” tandasnya.
Prediksi gempa dan tsunami hingga kini masih sebatas kajian yang didasarkan pada salah satunya adalah sejarah gempa di wilayah tersebut. Lebih lanjut, Dwikorita merekomendasikan agar pemda menyiapkan dan menambah jalur-jalur evakuasi lengkap dengan rambu-rambu di zona merah menuju zona hijau.
Pemda, lanjut Dwikora, juga harus lebih cermat dan tepat dalam memperhitungkan jumlah dan lokasi jalur evakuasi yang dibutuhkan. Hal ini harus didasarkan pada luasnya zona bahaya atau zona merah dan padatnya permukiman penduduk.
“Pertimbangannya adalah jarak lokasi tempat evakuasi, waktu datangnya gelombang genangan tsunami, kelayakan jalur, serta menyiapkan mekanisme dan sarana prasarana evakuasi secara tepat,” tuturnya.
Sehubungan dengan skenario terburuk menghadapi bencana, Dwikorita juga meminta adanya persiapan secara khusus terkait sarana dan prasarana evakuasi bagi kelompok lanjut usia dan difabel.
Pemda juga diminta mengedukasi masyarakat mengenai potensi bencana dan cara menghadapinya. Dwikora menambahkan, diperlukan adanya semacam tempat evakuasi sementara (TES) ataupun tempat evakuasi akhir (TEA) sebagai tempat penampungan khusus bagi warga yang mengungsi.
Namun, tempat tersebut juga harus dipastikan ketersediaan stok atau cadangan logistik yang memadai. wid