CATATAN REDAKSI:Setelah memberikan dua kali suntikan vaksin, pemerintah menambah daya tahan masyarakat melalui program vaksinasi booster. Seberapa efektif vaksinasi ke-3 ini bisa menambah imunitas tubuh, dan kelompok mana yang jadi prioritas, berikut Ari Baskoro dari Divisi Alergi – Imunologi Klinik Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr Soetomo – Surabaya memaparkannya untuk pembaca iniSurabaya.com.
KEBIJAKAN pemerintah terkait program vaksin booster Covid-19, dinilai sangat tepat. Program tersebut akan dimulai tanggal 12 Januari 2022. Penerimanya adalah warga yang berusia di atas 18 tahun dengan prioritas pada populasi berisiko tinggi. Lansia merupakan salah satu sasaran utama.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998, lansia adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Undang-Undang tentang Kesejahteraan Lanjut Usia tersebut, penting untuk mengakomodasi meningkatnya usia harapan hidup (UHH).
UHH merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan nasional Indonesia. Semula ‘hanya’ mencapai 61,3 tahun pada tahun 1992. Saat ini diprediksi bisa mencapai 71,74 tahun. Angka-angka tersebut mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS).
Jumlah lansia di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 26,82 juta jiwa, atau sekitar 9,92 persen dari total populasi. Menurut PBB, negara kita menempati peringkat ke-8 jumlah penduduk lansia dari seluruh negara-negara di dunia. Dengan pola demografi semacam ini, potensi masalah kesehatan serta kualitas hidup lansia, layak untuk diperhatikan.
Proses menua pada seseorang, seyogianya dipandang sebagai proses normal/wajar. Menjadi tua tidak selalu harus disertai gangguan fungsi organ atau penyakit.
Dari perspektif biologi, efek penuaan akan tampak terlihat lebih jelas setelah usia 40 tahun. Namun demikian sesuai hukum alam, hubungan antara usia dan penyakit amatlah erat.
Laju kematian akibat beberapa penyakit akan meningkat, seiring dengan menuanya seseorang. Hal ini dikaitkan dengan menurunnya kemampuan individu lansia berespons terhadap stres. Dalam bentuk stres fisik maupun psikologis.
Demikian juga pada saat pandemi seperti saat ini. Lansia menempati posisi dominan sebagai populasi rentan fatalitas Covid-19. Mereka rawan mengalami penyakit yang berat, bahkan kematian.
Salah satu faktor yang melatar belakangi masalah ini adalah disertainya kondisi komorbid. Menurunnya status imunitas pada lansia, juga menimbulkan masalah tersendiri pada vaksinasi.
Menurut hasil analisis, adanya faktor komorbid sangat menentukan. Memiliki satu komorbid, berisiko 6,5 kali lipat lebih tinggi mengalami kematian, bila terpapar Covid-19.
Risiko ini akan meningkat menjadi 15 kali lipat lebih tinggi, bila memiliki dua komorbid. Apabila disertai tiga atau lebih komorbid, risiko tersebut akan meningkat hingga 29 kali lipat.
Semakin bertambahnya umur pada seseorang, bertambah pula risiko mendapatkan beberapa komorbid secara bersamaan. Komorbid yang sering menyertai lansia adalah penyakit ginjal, jantung, diabetes melitus, hipertensi, penyakit sistem imun, kanker, penyakit hati dan penyakit paru serta gangguan pernafasan lainnya.
Secara tersendiri, usia 60 tahun ke atas, berisiko 19,5 kali lipat mengalami kematian akibat Covid-19. Risiko mengalami fatalitas ini, dapat menurun secara signifikan, bila dilakukan vaksinasi.
Satu dosis vaksinasi dapat mengurangi risiko kematian sebesar 37 persen. Risiko ini semakin berkurang hingga 73 persen, bila dilakukan vaksinasi dengan dua dosis. Analisis data tersebut disimpulkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Data Kementerian Kesehatan yang diolah Satgas Covid-19 menyebutkan sebanyak 46,7 persen kematian berasal dari populasi lansia. Laporan ini telah disampaikan ke publik pada awal Agustus 2021.
Imunitas Lansia/immunosenescence
Proses menua selalu diiringi penurunan performa sistem imun. Fenomena immunosenescence ini sangat berdampak pada kerentanan terhadap penyakit infeksi.
Akibat penuaan lainnya adalah menurunnya respons imun terhadap vaksinasi. Di sisi lain, munculnya kondisi komorbid didasari mekanisme inflamasi/peradangan kronis.
Imunitas adaptif yang diperankan limfosit (salah satu komponen lekosit/sel darah putih) adalah yang paling terganggu fungsinya. Pada saat dilahirkan, manusia mendapatkan anugerah limfosit dalam jumlah yang sangat melimpah.
Paparan berbagai macam mikroba (terutama human cytomegalovirus/HCMV), menyebabkan cadangan sel limfosit ‘naïve’ menjadi berkurang. Paparan itu terjadi sepanjang hidup manusia.
Limfosit ‘naïve’ merupakan sel imun yang belum pernah terpapar dengan antigen/mikroba. Disisi lain, sel memory (telah terpapar antigen/mikroba) semakin meningkat, ‘menggantikan’ kedudukan limfosit ‘naïve’.
Perubahan komposisi sel imun lansia seperti ini, merupakan tanda khas immunosenescence.
Immunosenescence dipengaruhi juga oleh beberapa faktor lainnya. Misalnya faktor genetik, nutrisi, latihan fisik dan jenis kelamin. Mungkin juga berhubungan dengan faktor hormonal.
Penurunan faal sistem imun pada laki-laki lebih cepat terjadi, dibandingkan pada perempuan.
Involusi (mengecilnya) kelenjar Thymus ikut berperan penting. Kelenjar ini terletak di tengah rongga dada dan berfungsi utama sebagai tempat ‘pendidikan dan latihan’ limfosit.
Menjelang usia sekitar 50 tahun, jaringan kelenjar ini hanya tersisa 10 persen. Bagian lainnya sudah digantikan jaringan lemak yang tidak memberikan kontribusi lagi bagi fisiologi sistem imun.
Vaksin Booster
Daya proteksi pasca vaksinasi akan menurun secara bertahap, walaupun sudah diberikan dalam dua dosis. Sekitar enam bulan kemudian, titer antibodi netralisasi tidak mampu lagi mencegah paparan virus Covid-19.
Namun sistem imun seluler yang diperankan oleh limfosit T ( huruf ‘T’ merujuk kata Thymus) serta sel ‘memory’, masih mampu merespons. Respons imun tersebut tidak seefektif seperti yang terjadi pada usia muda.
Pada kondisi imunitas yang serba terbatas seperti itu, lansia menjadi sangat rawan mengalami fatalitas akibat Covid-19. Dengan munculnya varian virus baru yang dilabeli sebagai Omicron, risiko terpapar menjadi meningkat beberapa kali lipat.
Virus yang untuk pertama kalinya terdeteksi di Afrika Selatan tersebut, mempunyai daya tular yang melampaui varian Delta. Sementara ini, fatalitas akibat Omicron tidak separah varian Delta. Walaupun demikian, tindakan pencegahan masih merupakan cara yang terbaik.
Vaksin booster merupakan metode terpilih yang andal, selain penerapan protokol kesehatan yang benar. Pemberian vaksinasi dosis yang ketiga ini, diharapkan membangkitkan kembali imunitas humoral (terbentuknya antibodi) dan seluler (limfosit T).
Meskipun vaksinasi booster nantinya tidak menjamin 100 persen mencegah penularan, namun terbukti efektif mencegah parahnya Covid-19.
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ada lima macam vaksin yang mendapatkan izin penggunaan darurat (emergency use authorization/EUA) untuk digunakan sebagai booster. Vaksin-vaksin tersebut adalah Coronavac Covid-19 Biofarma, Pfizer, Astra Zeneca, Moderna dan Zivivax. Semoga pelaksanaan vaksinasi booster berjalan dengan lancar. *