

iniSURABAYA.com – Meninggalnya Hernani Sirikit Syah, jurnalis senior Surabaya membawa banyak kenangan bagi banyak teman dekatnya. Salah satu diantaranya adalah Hamid Nabhan.
“Beliau sering memberi masukan tentang dunia jurnalis. Dan ketika terakhir Bu Sirikit mengatakan nanti kalau mau edit bisa ke anak saya ini seperti firasat untuk perpisahan antara saya dan Bu sirikit,” tutur Hamid dengan nada sedih.
Pria yang juga sama-sama sebagai penulis ini mengaku sebelum puasa Ramadan lalu dirinya sempat menikmati makanan bersama Sirikit di kawasan Jl KH Mas Mansyur Surabaya.
“Saya memang sering mengajak beliau ke tempat-tempat kuliner masakan Timur Tengah, karena Bu Sirikit sangat menyukai masakan Timur Tengah,” katanya kepada iniSurabaya.com, Minggu (1/5/2022).
Hamid menambahkan, waktu studi di Inggris Sirikit dekat dengan teman-temannya yang berasal dari Timur Tengah. Dari situ lah awal perkenalan Sirikit dengan masakan Timur Tengah.
Menurut Hamid, Sirikit itu seperti dian atau pelita yg menerangi teman-temannya. “Pemikiran Bu Sirikit sangat kekinian. Saya dan Bu Sirikit saling memberi semangat lebih-lebih ketika pandemi lagi marak,” tuturnya.
Hamid menyatakan dirinya sangat kehilangan sosok Sirikit sebagai satu-satunya orang yang selalu menjadi teman diskusi tentang film. “Bu Sirikit sangat mengerti tentang film. Biasanya saya memberi DVD movie setelah nonton lalu kami diskusikan lewat telpon atau datangi ke kediamannya,” ujar Hamid.
Film yang dibahas beragam, mulai klasik maupun keluaran baru yang berbobot. “Sampai Bu Sirikit membuat satu grup di WA yang diberi nama ‘Ngopi Nobar’ yang isinya orang-orang yang punya hobi sama yaitu hobi nonton,” kenang Hamid.
Hal lain yang tak akan dilupakan Hamid adalah kesan Sirikit tentang dirinya yang bahkan sempat diunggah jadi status di WhatsApp.
“Kawan satu ini saya juluki manusia paling kreatif dan produktif. Dia menulis banyak buku dan melukis banyak lukisan,” begitu tulis lulusan Universitas Negeri Surabaya ini di status WA-nya.
Penulis cerita pendek yang dipublikasikan di sejumlah media massa ini menambahkan,”Masa pandemi? Tak berpengaruh baginya. Saya beruntung dipercaya olehnya untuk menyunting cerpen-cerpen dan beberapa karya non-fiksinya. Job dari kawan satu ini sangat menolong saya ketika saya diterpa efek kemo yang dahsyat.”
Sirikit mengatakan dirinya sempat putus asa, dan merasa hidup akan berakhir. Namun Hamid selalu menyapa,“Ayo tetap semangat!” (sambil mengirimi film-film/DVD yang bagus-bagus).
“Makan yang banyak,” kata Hamid member semangat sambil mengirim aneka makanan khas Ampel yang yummy.
“Ayo kerja lagi!” cetusnya terus memberi semangat sambil mengirimi naskah-naskah untuk disunting.
Diakui Sirikit, dorongan Hamid membuat dirinya merasa hidup dan masih punya arti. “Sambil menyunting di tempat tidur, saya melatih kepekaan bahasa, melatih jari-jari supaya nggak kaku, mengusir kejenuhan serta menghindari kepikunan,” ujar Sirikit masih di postingan status WA yang sempat disimpan Hamid.
Sirikit memuji karya Hamid Nabhan menarik. “Ada tiga lukisannya di rumah saya, ukuran besar maupun kecil. Kecintaannya pada aliran impresionisme membuatnya gatal untuk menuliskan pengetahuan dan pengalamannya menulis tentang itu,” kesannya.
“Buku tentang impresionisme ini bisa menjadi pegangan bagi para pembelajar seni lukis, karena ditulis oleh praktisi pelukis. Dia juga menulis sejarah, dan perjalanan ke manca negara (utamanya kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah).
Hamid Nabhan memiliki kepekaan sosial yang tajam. Di awal pandemi, dia menulis cerpen ‘Badut dan Penyair’, yang bertemakan sulitnya hidup di era pandemi. Tak lama kemudian, ketika janji-janji pemimpin jadi bahan kritik, Nabhan menulis cerpen ‘Janji’, tentang adu janji calon kepala daerah di masa kampanye.
Ketika isu korupsi Bansos meledak, lahirlah cerpen ‘Topeng Monyet’, tentang kera yang mencuri bahan makanan di gudang penyimpanan.
Bahkan ketika seorang ustaz bermimpi dan mimpinya dipersoalkan, Nabhan menulis cerpen ‘Mimpi’, tentang seorang yang bermimpi menjadi presiden dan karena itu dia ditangkap dan disiksa.
Hampir semua cerpennya ditulis dengan gaya bahasa sederhana, dengan alur yang tidak rumit, sehingga enak dibaca dan mudah dipahami.
Membaca karya Hamid Nabhan seperti menyaksikan kehidupan sosial politik Indonesia sekarang. Membaca karakter-karakter dalam cerpennya, seperti melihat diri kita sendiri. Itulah kekuatan seorang Hamid Nabhan.”
Karena kedekatan itulah, tak heran bila Hamid sangat menyesal tidak bisa menghadiri pemakamannya. “Sewaktu mendengar (Sirikit meninggal) saya langsung berangkat menuju kediaman dan bertemu keluarganya,” imbuh Hamid.
Sebelum masuk rumah sakit, lanjut Hamid, Sirikit sempat menghubunginya lewat telepon dan bercerita tentang batu di empedunya dengan suara menahan sakit. “Itulah terakhir saya komunikasi bersama Bu sirikit,” tandas Hamid. ana