
iniSURABAYA.com – Epilepsy di kalangan masyarakat awam negeri ini masih dianggap sebagai penyakit gangguan mental juga bahkan sebagai kutukan. Dan untuk penyembuhan pada penderita yang mengalami kejang-kejang ini, masyarakat juga cenderung menyatakan epilepsy bisa sembuh sendiri.
Karena pemahaman salah terhadap epilepsy ini pula banyak orangtua melakukan tindakan yang tidak tepat pada sang buah hati. “Karena malu anaknya kena epilepsy, malah dikurung tidak boleh berinteraksi dengan lingkungan,” ungkap dr Heri Subianto SpBS (K) Func FINPS kepada iniSurabaya.com, Rabu (29/3/2023).
Ditemui sesaat sebelum talk show bertajuk ‘Epilepsi: Kawan atau Lawan?’ yang digelar National Hospital dalam rangkaian peringatan Hari Epilepsy se-Dunia, dokter spesialis bedah saraf di National Hospital Surabaya ini menambahkan, stigma lain adalah, epilepsy dianggap penyakit menular. Akibatnya, penderita epilepsy ini sering dikucilkan masyarakat.
“Padahal penderita epilepsy bisa berprestasi di bidang-bidang yang dia minati. Jadi jangan dibatasi aktivitasnya. Dia tetap bisa sekolah seperti lainnya,” pesan dokter Heri.
Dokter Heri mengaku, gejala umum penderita epilepsy memang kejang-kejang. Namun, ketika ada orang yang mengalami kejang belum tentu mengidap epilepsi. “Karena faktor penyebab banyak, seperti trauma benturan kepala atau tumor di kepala,” tegasnya.
Apabila kejang terjadi kepada anak, penyebah paling umum yakni mereka lahir secara prematur dan terlahir dengan kelainan otak. Tetapi, penyebab utama epilepsy adalah pola aktivitas listrik di otak tidak normal.
Berdasarkan data yang dirangkum sejak tahun lalu, rumah sakit mencatat lebih kurang ribuan pasien telah mendapatkan pelayanan secara excellence di National Hospital. Perlu diketahui, pada tahun lalu, estimasi jumlah pasien epilepsy di Indonesia sekitar 1,5 juta orang. Dengan prevalensi 0.5-0.6 persen dari penduduk Indonesia.
“Usia pasien epilepsy tergolong beragam. Mulai dari balita hingga usia 50 tahun ke atas,” katanya.
Dokter Heri menekankan, informasi terkait penanganan medis yang masih belum diketahui masyarakat secara luas itu lah yang melatari National Hospital aktif menggelar purple day setiap tahunnya.
“Cara tersebut untuk meningkatkan kesadaran terhadap epilepsy dan untuk menghilangkan mitos dan ketakutan umum akan gangguan neurologis tersebut,” urainya.
Terkait penanganan medis bagi pasien epilepsy, dokter Heri menyatakan,”Pertama, pasien perlu konsultasi terlebih dulu dengan dokter. Setelah itu, pasien butuh skrining untuk mengetahui penyebab epilepsy. Skrining itu melalui MRI, EEG, dan PET Scan.”
Skrining dilakukan atas saran dokter dan melihat kondisi pasien. Sangat penting, pasien mempunyai catatan/ histori terjadinya kejang. “Sebab, catatan itu menjadi bahan evaluasi dari dokter yang menangani,” imbuhnya.
Selain itu, lanjut dokter Heri, history tersebut sebagai penentu jenis/ tipe kejang. Setelah ditemukan jenis/ tipe kejang, dokter akan menentukan terapi yang tepat bagi pasien.
Biasanya, terapi pertama diawali dengan pemberian obat-obatan anti epilepsy. Kemudian, kondisi pasien dievaluasi, apakah kejangnya terkontrol atau tidak. “Nah, jika kejang tidak terkontrol, maka pasien direkomendasikan untuk tindakan operasi,” cetusnya.
Di National Hospital tersedia layanan khusus epilepsy, yakni, Epilepsi Center (epic) yang diresmikan sejak tahun lalu. Epic menjadi fasilitas penanganan epilepsy secara komprehensif di Indonesia.
Adapun fasilitas epic di Nathos memiliki MRI 3 TESLA dengan protocol khusus. Epic juga memiliki fasilitas long term video EEG yang jarang dimiliki rumah sakit lain di Indonesia.
Fasilitas epic didukung dokter spesialis saraf dan bedah saraf yang khusus mendalami epilepsy. Serta, tentunya, perawat yang terlatih dalam mengoperasionalkan EEG. ap