iniSURABAYA.com – Pada tahun 1938 ‘Persagi’ (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) didirikan, dengan puluhan seniman sebagai anggota yang diketuai oleh Agus Djaja, dengan juru bicaranya S Sudjojono yang tiba-tiba dengan lantang mengatakan bahwa seni lukis Mooi Indie adalah seni lukis yang mengacu pada trinitas, yakni gunung, pohon kelapa, dan sawah.
Tulisan berikut memapar catatan Hamid Nabhan, seniman multi talenta Surabaya terkait Persagi dan seni lukis Mooi Indie yang sudah berlangsung selama 86 tahun ini.
Sudjojono menganggap seni lukis Mooi Indie hanyalah konsumsi turis belaka. Sudjojono lalu mengajak para seniman Hindia-Belanda (Indonesia) untuk melukis apa yang disebut dengan ‘Realita Kita’. Menurut Sudjojono, karya seni haruslah berdasar pada kehidupan sehari-hari yang diserap oleh para seniman.
Dalam sejarahnya Mooi Indie merupakan suatu mazhab tersendiri dalam perkembangan sejarah seni lukis di Indonesia. Mooi Indie yang diartikan secara harfiah sebagai kecantikan Hindia-Belanda (Indonesia) menurut kacamata Barat.
Dari asumsi inilah maka karya-karya yang dibuat di Hindia-Belanda oleh pelukis-pelukis Eropa yang didominasi oleh orang-orang Belanda yang datang di Tanah Air yang ingin mengabadikan pemandangan Hindia-Belanda yang elok dan eksotik.
Ada sekitar 1.200 seniman Eropa yang kebanyakan berasal dari Negeri Belanda datang serta menetap di Hindia-Belanda baik dalam waktu lama maupun yang relatif singkat.
Di sinilah mereka merekam kecantikan alam Hindia-Belanda yang penuh misteri dan memiliki daya tarik yang eksotis di kanvas-kanvas mereka. “Ini adalah catatan Ruud Spruit (indonesische Impressies Oosterse thema’s in de Westerse Schilderkunst) di tahun 1994,” ungkap Hamid.
Dimata pelukis-pelukis tersebut pemandangan di Hindia-Belanda ini sungguh menyiratkan misteri tersembunyi, dengan kekayaan sinar matahari melimpah yang tak dapat ditemukan di negara asal mereka.
Juga para penghuninya dengan adat istiadat yang beragam menjadikan teka-teki tersendiri bagi mereka. Tentu ini adalah suatu objek yang selama ini belum pernah mereka eksplorasi.
Seniman-seniman Barat yang pernah datang dan menetap, di antaranya adalah Rudolf Bonet, Walter Spies, William Hofker, Wilem Dooijewaard, Roland Strasser, Jr Ger Adolf, Leo Eland, Charles Sayers, Theo Meier dan lainya.
Mereka umumnya menggambarkan pemandangan dengan kemolekan Hindia-Belanda melalui gaya klasik oriental dalam naturalisme yang berkelas, impresionistis dengan memainkan irama cahaya dengan warna-warna yang kaya.
Mereka tidak hanya melukis sebagai konsumsi turis, seperti yang dilabeli oleh Sudjojono, tetapi banyak juga yang melukis objek berdasarkan kehidupan sehari-hari. Seperti karya Rudolf Bonet yang berjudul ‘Tari Keris’.
Disini Bonet tidak hanya melukiskan kesan eksotis tapi juga merekam budaya Hindia-Belanda yang ekspresif.
Dan perlu diingat, seni lukis di zaman kolonial tidaklah mutlak dikerjakan oleh seniman-seniman yang berasal dari Belanda dan negara Eropa lainnya. Kita mengenal pelukis Hindia-Belanda yang bernama Raden Saleh yang dididik mendalami mazhab Mooi Indie dengan melukis cara barat.
Mazhab ini juga digeluti oleh pelukis Hindia-Belanda (Indonesia) seperti Abdullah Senior, Wakidi, Pringadie dan kawan-kawan.
Dari seniman-seniman ini kemudian diikuti seniman muda yang lebih mementingkan kemerdekaan dalam berkarya. Maka lahirlah perkumpulan yang dinamakan Persagi, yang ingin memperlihatkan karya yang mencerminkan kehidupan sehari-hari.
Apakah Persagi membawa suatu mazhab baru? Konsep pemberontakan serta kritik-kritik pedas yang dilontarkan Sudjojono terhadap Mooi Indie lebih bersifat politis. Selain untuk melawan dominasi pelukis-pelukis Belanda saat itu, juga menentang pelukis-pelukis Hindia-Belanda yang dianggap mengikuti gaya pelukis-pelukis Belanda saat itu.
Tetapi dalam kenyataannya sangatlah sulit membentuk seni modern Hindia-Belanda yang bersifat nasional karena tidak jarang pelukis Persagi sendiri yang masih menggambarkan trinitas Moi Indie (gunung, sawah dan pohon kelapa).
Walaupun mereka mengkritik dan tidak menyukai karya-karya Mooi Indie, tetapi mereka banyak belajar dari Mooi Indie. Dan karya-karya Mooi Indie pun masih digemari dalam masa-masa kemerdekaan maupun setelahnya dengan munculnya pelukis-pelukis seperti Basuki Abdullah, Barli, Rustamadji dan pelukis lainnya.
Pada pertengahan tahun 90-an, di Amerika Serikat pernah diadakan sebuah survei di 14 negara. Tujuannya mencari tahu tentang ‘lukisan yang paling diingini’ dan ‘paling tak diingini’. Dari hasil survei yang dikordinasi oleh dua pelukis Rusia, yaitu Alexander Melamid dan Vitaly Komar, ternyata yang paling diingini di 14 negara dengan 1.000 responden adalah lukisan pemandangan yang ada orang dan binatang.
Ini menunjukkan lukisan pemandangan yang di Tanah Air diistilahkan dengan Moi Indie masih diterima semua lapisan masyarakat.
Di era lukisan kontemporer yang lagi booming saat ini, ternyata masih terbilang sangat banyak para pelukis yang masih menggeluti lukisan Mooi Indie. Ini bisa dilihat dari banyaknya pameran-pameran lukisan yang digelar di galeri-galeri maupun di hotel-hotel, baik secara tunggal maupun kelompok yang menampilkan objek-objek pemandangan alam.
Salah satu kelompok tersebut adalah ‘Djitoe, kepanjangan dari Sidji Pitoe (satu tujuh). Karena kelompok ini terdiri dari delapan orang, yakni satu perempuan (Nova CM), dan tujuh pria, yaitu Hendy Prayudi, Fathur Rojib, Choi Irul, Sugeng Lanang, Syamdhuro, Lukman Gimen, dan Budi Ipeng.
Kelompok ini akan menggelar pameran bertemakan Mooi Indie yang akan digelar di Galeri Surabaya pada 24-30 April 2024.
Saya menyebut kelompok ini sebagai kelompok seniman yang penuh ide dan ingin menunjukkan bahwa lukisan Mooi Indie masih eksis dan terbukti tetap digemari. Selamat berpameran kawan! *