ILUSTRASI: AI/ChatGPT
Jadi, jangan khawatir. Indonesia bukan satu-satunya ‘kuburan massal’ kaum penulis. Dunia memang sedang menggelar upacara kematian mereka.
Kalau dibiarkan, tulisan esai kritis akan benar-benar tinggal sejarah. Negara hanya akan dijejali propaganda, postingan iklan dan thread medsos penuh hoaks. Maka diperlukan revolusi pena —meski tanpa darah berikut:
Subsidi Intelektual. Kalau negara bisa memberi subsidi pupuk dan listrik, mengapa tidak memberi insentif bagi penulis esai bermutu? Bukan sekadar lomba menulis berhadiah sertifikat tapi program apresiasi reguler.
Model Bisnis Baru. Penulis jangan berharap lagi pada media. Belajar dari luar negeri, mereka bisa membangun basis pembaca lewat Patreon, Substack atau platform berlangganan. Pembaca langsung membiayai penulis.
Kolaborasi dengan Kampus dan Komunitas. Penulis bisa bermitra dengan universitas, LSM atau pusat studi. Tulisan esai tak lagi sekadar ‘opini’ tapi bagian dari gerakan literasi publik.