Nongkrong di ‘Jalur Gaza’, Ada Warkop Banting Asbak, Mau Coba?

iniSURABAYA – ‘Jalur Gaza’, sekilas nama ini terkesan menyeramkan. Tetapi tidak bagi arek-arek Suroboyo, terutama mereka yang doyan ‘cangkruk’.

‘Cangkruk’ atau nongkrong sambil minum kopi belakangan seakan jadi gaya hidup anak kekinian. Bagi yang berkantong tebal, menyisir tongkrongan di mall menjadi keasyikan tersendiri.

Namun, bagi yang budget-nya pas-pasan atau bahkan tipis, tempat tongkrongan pinggir jalan seperti warung kopi (warkop) menjadi pilihan.“Saya sering ngopi di ‘Jalur Gaza’,” kata Franda, salah seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta ketika ditanya tongkrongan favoritnya, Sabtu (29/12/2018).  

Menurut Franda, dia biasa mengadakan janji dengan teman-temannya usai pulang kuliah di ‘Jalur Gaza’. Senada dengan Franda, Ente (47), sekuriti sebuah kampus terkenal di Surabaya ini pun mengaku paling getol menghabiskan waktu senggang usai tugas di tempat itu.

“Paling enak di sini, murah meriah juga semua sudah seperti saudara,” akunya.

“Beli di sini sama dengan membantu ekonomi kerakyatan,” timpal Habib, rekannya.

 ‘Jalur Gaza’ sebetulnya adalah lorong perbatasan antara Universitas Dr Soetomo (Unitomo) dan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya. Sejarah tentang mencuatnya nama ‘Jalur Gaza’ pun sering jadi perdebatan tersendiri, dan bahkan membuat perbincangan makin seru.

Konon, gang buntu atau lorong ini dulunya merupakan kawasan sepi. Karena berada di ‘wilayah perbatasan’ antarkampus, maka bisa jadi mencuat nama yang asal sebut.

Atau, bisa pula memang terinspirasi oleh wilayah di Timur Tengah yang berbatasan antara Mesir dan Israel. Kini, sederetan warung makan meramaikan suasana di lorong tersebut. Mulai dari Warkop Ayah dengan tradisi khas banting asbaknya, penyetan legendaris Cak Gundul, pangsit Jakarta Cak Lila, Soto Ayam Abah, atau Ketan Bubuk Bang Tejo.

Soal harga, bersahabat pastinya. “Yang sering nongkrong di sini macam-macam, mulai anak kuliahan sampai karyawan,” ujar Maskat, pemilik Warkop Ayah. ely