
iniSURABAYA – Layar di panggung ludruk di area Gedung THR Surabaya, Jumat (28/12/2018) ditutup dengan cerita berjudul ‘Ritus Travesty’. Pertunjukan yang ke-58 ini sekaligus menjadi pamungkas bagi seniman ludruk Irama Budaya Nusantara selama periode 2018.
Menurut Meimura, tokoh ludruk Irama Budaya Nusantara, pementasan di akhir tahun itu sekaligus tantangan bagi aktor maupun aktris, khususnya yang menggeluti kesenian ludruk untuk terus bersama mengembangkan kesenian ludruk.
“Ini tantangan bagi kita semua, agar di tahun 2019 kita tetap terus eksis,” tegasnya.
Pada tahun 2019, lanjut Meimura, kelompok
kesenian Irama Budaya Sinar Nusantara yang dikomandani Deden Irawan ini tetap
akan menghadirkan produk kesenian seperti yang selama ini mereka kerjakan. “Kami
tetap akan pentas setiap Sabtu malam Minggu,” ungkapnya.
Produksi yang dilakukan Irama Budaya Sinar Nusantara, diakui, tak sebatas dilakukan di ‘kandang sendiri’. Kelompok kesenian ludruk ini bahkan sempat tampil di luar Surabaya.
Diantaranya adalah di Taman Mini Indonesia
Indah, dan Taman Ismail Marzuki (Jakarta).
Ditekankan Meimura, pihaknya juga membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin belajar kesenian ludruk, baik mereka yang masih anak-anak, remaja, maupun dewasa.
“Tahun depan kami juga mencanangkan agenda Kongres Seniman Kesenian Ludruk di Jawa Timur,” imbuhnya.
Agenda lainnya, adalah menggelar Festival
Ludruk Ontang-Anting (monolog). “Kami juga membuka diri untuk bekerjasama
dengan perguruan tinggi, juga lembaga negara atau pun swasta demi
keberlangsungan kesenian ludruk ini,” ujar Meimura.
Ludruk, masih kata Meimura, merupakan kesenian yang tidak ternilai harganya. Kesenian tradisional ludruk adalah salah satu kesenian yang sebenarnya berkembang mengikuti zaman, dan bisa dibawakan dengan berbagai bahasa.
“Siapa lagi yang akan menjaga kesenian ludruk ini selain kita orang-orang Surabaya,” tandasnya. dit