
ILUSTRASI: AI/ChatGPT
iniSURABAYA.com – ”Indonesia bukan satu-satunya ‘kuburan massal’ kaum penulis. Dunia memang sedang menggelar upacara kematian mereka.”
Apa jadinya sebuah bangsa tanpa penulis? Jawabannya sederhana: negara tetap ada, jalan tol tetap dibangun, pilpres tetap gaduh, buzzer tetap hidup —tapi pikiran kritis perlahan mati.
Dulu, di era 1980-an, menjadi penulis esai adalah impian banyak wartawan. Setelah kenyang makan nasi kotak ketika liputan dan kopi dingin di kantor redaksi, mereka membayangkan satu hari kelak akan ‘naik kelas’: menjadi penulis opini, kolumnis atau esais yang dihormati.
Tingkatannya lebih mulia, bayaran lebih layak. Kala itu pena dianggap bukan hanya alat tulis tapi senjata intelektual.
Tiga puluh tahun berselang, ternyata pena itu bukan patah tapi dipreteli nilainya. Media cetak bangkrut satu per-satu, biaya kertas melambung dan media daring datang sebagai ‘juru selamat’ yang justru melahirkan kebebasan bercampur kekacauan.